Kuningan hujan dipagi hari. Gunung Cermai yang biasa nampak dilihat dari depan rumah tak bisa dilihat untuk saat ini. Air hujan dari langit membasuh debu diatas daun , debu diatas jalanan, debu diatas atap bangunan dll. Dalam beberapa kasus semua menjadi nampak jelas. Warnanya asli, bentuknya asli, kondisinya baik atau kondisinnya buruk, semuanya juga nampak asli.
Lantas bagai mana dengan potret mirip Gayus di internet yang namak di layar laptop. Ternyata dirimu nampak seperti itu. Entah siapa kamu tetapi sepertinya memakai rambut palsu. (Maaf mas gayus ya, sekedar untuk contoh kasus dalam tulisan ini).
Aku mendengar bunyi burung di atas pohon yang tumbuh di trotoar jalan Juanda. Suaramu memecahkan hening lamunan di pagi hari. Bunyimu masih seperti dulu. Berceloteh, bernyanyi, orasi, khobah, do’a atau apa makna dari bunyi diatas pohon itu. Wahai burung engkau masih seperti dulu. Atau sudah berubah tapi aku tidak tahu. Aku mengenal suaramu tapi aku tidak tahu arti suaramu.
Dalam kesendirian akupun tersenyum. Aku melihat benak hatiku, aku seperti melihat tontonan yang sangat jelas. Dimataku saat ini, Gayus sebagai utusan (delegasi) dari Tuhan. Engkau pembawa pesan yang tidak aku mengerti. Aku paham tapi aku bingung. Aku jelas tapi samar-samar.
Engkau adalah alat dari Tuhan untuk menunjukan sesuatu kepada mahluknya yang bernama manusia. Gayus menjadi cermin bagi kita semua. Gayus itu ada dan nyata. Dan ada banyak manusia yang mempunyai kemiripan perilaku seperti yang dilakukan Gayus. Mungkin Gayus-Gayus yang lain memakai rambut palsu, atau aksesoris palsu lainnya.
Apakah diri kita juga seseorang yang mirip Gayus? Jika engkau pegawai negeri golongan IIIA, gajimu 5 – 12 juta. Dan melihat informasi di berbagai media hartamu milyaran rupiah. Dan apakah engkau Gayus tidak akan mengakui ada yang salah?
Jika aku sebagai Gayus, apakah aku akan lepas harta yang tidak jelas itu. Apakah jika aku adalah Gayus maka aku akan beberkan semua kisah seperti kisah nasehat guru ngaji? Mulutmu tidak bicara, tapi kakimu bicara, tanganmu bicara, semuanya bicara. Apakah mulutku akan berbicara apa adanya. Apakah diriku berani memaksa mulutku bicara sebelum anggota tubuhku yang lain bicara?
Semua kembali kepada kita. Jika Gayus adalah kaum hawa dan ia adalah istriku. Apa yang akan aku perbuat. Jika Gayus adalah kaum adam dan ia adalah suamiku. Apa yang akan aku perbuat. Jika Gayus adalah orang tuaku dan aku adalah anaknya. Apa yang akan aku perbuat. Dan jika Gayus adalah saudaraku, apa yang akan aku perbuat. Jika Gayus adalah atasanku atau bawahanku, apa yang akan aku perbuat.
Dan jika aku tidak berbuat apa-apa, lantas siapa diriku ini. Apakah aku dan gayus adalah sama saja. Aku menjadi diam seribu bahasa. Hujan diluar rumah sudah reda. Aku melihat Gunung Cermai sudah menampakan jati dirinya. Mulut terasa asam, perut terasa lapar.
Aku melangkah menuju dapur sambil bertanya, “Jika aku sebagai istri, suami, orang tua, anak, saudara, apakah aku akan diam saja?” Aku masih melangkah dan terus melangkah. Aku diam mematung di dapur. Ke-tidak nyamanan diri ini membuat aku berbalik arah.
Aku menghampiri laptop yang masih menyala di atas meja. Aku membuat tulisan di sana. Aku masukan tulisan itu dalam FB. “Jika aku koruptor, jika aku istri atau suami koruptor, jika aku anak seorang koruptor, jika aku atasan atau bawahan koruptor, jika aku memiliki kawan atau saudara bahkan famili koruptor. Apa yang akan saya lakukan?”
Seharian aku tidak makan. Bukan karena tidak lapar. Bukan karena sok pahlawan melakukan aksi mogok makan. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan sendiri. Mungkin kita butuh kebersamaan untuk memperlakukan koruptor di dalam lingkungan keluarga atau lingkungan kerja kita. Mungkin tidak mungkin jika kita melakukan sendiri. Kita butuh kebersamaan.
“Bukan aku tidak setia kepada suami. Bukan aku tidak sayang kepada istri. Bukan aku tidak berbakti kepada orang tua sendiri. Bukan berarti aku menghianati persahatan. Bukan berarti aku ……..?”
“Aku tidak akan pernah bergaul lagi dengan koruptor mulai detik ini. Jika koruptor itu adalah suami, istri, ayah, ibu, teman, sahabat, keluarga dan famili dan siapapun ia. Aku tidak mau berkomunikasi dengannya. Aku tidak sudi memakan dan memanfaatkan hartanya. Aku tidak akan…..? “
Dan ternyata komputer ini pemberiannya. Pakaian ini pemberiannya. Tempat tinggal ini, HP ini, listrik rumah ini, sandal ini, makanan, minuman, tusuk gigi, dan semua yang ada adalah pemberian koruptor. Dan jika demikian adanya maka aku akan memilih mati!
Koruptor itu yang di adili atau jika tidak dilakukan maka aku yang akan menghakimiku sendiri. Dan jika negara membiarkan hidup bagi Gayus-Gayus yang ada, maka aku akan memilih Mati!! Aku akan memilih Mati!!! KepadaMU wahai negaraku, “Pilih ‘Aku’ atau ’Gayus’ yang Mati?” ***
Read Full Post »